Mira Lesmana adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam dunia perfilman Indonesia modern. Lahir di Jakarta pada 8 Agustus 1964, Mira berasal dari keluarga seni. Ayahnya adalah musisi jazz legendaris Jack Lesmana, dan ibunya, Nien Lesmana, seorang penyanyi. Ia juga merupakan kakak dari pianis jazz terkenal, Indra Lesmana. Latar belakang keluarganya yang kuat di bidang seni membentuk dirinya menjadi sosok yang memiliki kepekaan tinggi terhadap dunia kreativitas sejak usia dini. Mira menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta dan kemudian melanjutkan studi film di Australia. Ia sempat bercita-cita menjadi ilmuwan atau detektif, namun kecintaannya terhadap film—yang dipicu oleh tontonan masa kecil seperti Star Wars—mengantarkannya pada dunia yang akan ia ubah selamanya.
Karier Mira di dunia film dimulai saat ia memproduseri berbagai film pendek dan proyek televisi, sebelum akhirnya mendirikan rumah produksi Miles Films pada tahun 1995 bersama sahabat dan kolaborator tetapnya, sutradara Riri Riza. Debut film panjang mereka, Kuldesak (1999), menjadi batu loncatan penting yang menandai semangat sinema independen baru di Indonesia. Namun, nama Mira Lesmana benar-benar melesat ke arus utama melalui film musikal anak Petualangan Sherina (2000), yang menjadi fenomena budaya sekaligus menghidupkan kembali gairah perfilman nasional yang saat itu tengah terpuruk.



Dua tahun kemudian, Mira mencetak sejarah dengan memproduksi Ada Apa Dengan Cinta? (2002), film remaja yang tak hanya sukses secara komersial, tapi juga menjadi ikon generasi dan menandai awal kebangkitan film Indonesia modern. Setelah itu, ia terus memproduksi film-film bermutu tinggi seperti Gie (2005), Laskar Pelangi (2008), Sang Pemimpi (2009), Sokola Rimba (2013), dan Pendekar Tongkat Emas (2014). Film Laskar Pelangi, yang diadaptasi dari novel karya Andrea Hirata, menjadi salah satu film Indonesia terlaris sepanjang masa dan diputar di berbagai festival internasional termasuk Berlinale.
Sebagai produser, Mira Lesmana dikenal tidak hanya piawai dalam membangun cerita yang kuat dan relevan, tetapi juga berani bereksperimen dengan genre dan pendekatan produksi yang tidak lazim. Ia beberapa kali memproduseri film dengan tema sosial dan politis yang mendalam, serta berani mengangkat isu-isu yang jarang disentuh sineas lain. Misalnya, melalui Athirah (2016), ia menyajikan potret perempuan Bugis dalam era patriarki, yang kemudian meraih berbagai penghargaan nasional termasuk Piala Citra.
Konsistensi dan kualitas karyanya membuat Mira tidak hanya disegani di dalam negeri, tetapi juga dikenal di kancah internasional. Ia aktif memperjuangkan kemerdekaan berekspresi dalam dunia film, bahkan sempat menggugat Undang-Undang Perfilman ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap membatasi kebebasan kreatif sineas. Meskipun gugatan tersebut ditolak, langkah Mira menunjukkan dedikasinya terhadap industri yang ia cintai.
Pada tahun 2023, Mira kembali menarik perhatian lewat sekuel Petualangan Sherina 2, yang tetap menyuguhkan kualitas visual dan cerita yang kuat, sekaligus memperkenalkan film keluarga kepada generasi baru. Bersama Riri Riza, ia juga sedang mengembangkan proyek Rangga & Cinta, yang diyakini akan menjadi lanjutan dari semesta Ada Apa Dengan Cinta?.
Di balik layar, Mira Lesmana adalah sosok yang rendah hati namun sangat visioner. Ia telah menjadi mentor bagi banyak sineas muda dan terus membuka jalan bagi perkembangan sinema Indonesia ke arah yang lebih progresif. Dengan rekam jejak panjang, keberanian untuk bereksperimen, serta dedikasi tanpa henti, Mira Lesmana tidak hanya produser, tapi juga pejuang seni yang telah mewarnai wajah perfilman Indonesia dengan karya-karya yang tak lekang oleh waktu.