Pemerintah Indonesia telah menetapkan judi online sebagai musuh bersama melalui pembentukan satuan tugas khusus dan penguatan regulasi. Namun, meskipun ribuan situs diblokir setiap hari dan penangkapan terhadap operator terus dilakukan, praktik ini tetap eksis dan bahkan terus berkembang selat378. Secara yuridis dan teknis, terdapat beberapa faktor fundamental yang menyebabkan penegakan hukum judi online di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat kompleks atau “jalan terjal”.
Hambatan utama dalam penegakan hukum judi online adalah masalah yurisdiksi. Mayoritas server dan pusat kendali situs perjudian yang menargetkan pasar Indonesia berada di luar negeri, khususnya di negara-negara yang melegalkan perjudian atau memiliki regulasi siber yang longgar.
Secara hukum, kepolisian Indonesia terikat pada asas teritorial, di mana kewenangan penindakan terbatas pada wilayah hukum Indonesia. Meskipun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki sifat ekstrateritorial, eksekusi fisik terhadap bandar besar yang bermukim di luar negeri memerlukan prosedur diplomasi dan kerja sama internasional yang rumit, seperti ekstradisi atau mutual legal assistance. Seringkali, perbedaan persepsi hukum antarnegara mengenai perjudian menjadi tembok penghalang dalam proses pengejaran pelaku utama.
Para pelaku kejahatan siber selalu selangkah lebih maju dalam memanfaatkan teknologi untuk menghindari jeratan hukum. Penggunaan Virtual Private Network (VPN), jaringan TOR, dan enkripsi tingkat tinggi membuat pelacakan alamat protokol internet (IP Address) menjadi sulit.
Selain itu, transformasi metode pembayaran dari sistem perbankan konvensional ke aset kripto atau dompet digital anonim mempersulit penyidik untuk menelusuri aliran dana. Dalam hukum acara pidana, pembuktian aliran uang adalah kunci untuk menjerat pelaku dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ketika jejak keuangan tersamarkan di dalam ekosistem blockchain yang terdesentralisasi, otoritas penegak hukum memerlukan alat bukti digital yang sangat spesifik dan ahli forensik digital yang mumpuni, yang jumlahnya masih terbatas.
Dari sisi regulasi administratif, pemutusan akses atau pemblokiran situs web sering kali hanya bersifat sementara. Begitu sebuah domain diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Digital, para operator dengan cepat menyediakan situs duplikat atau mirroring dengan nama domain yang hanya berbeda satu karakter. Kecepatan replikasi ini jauh melampaui kecepatan prosedur birokrasi pemblokiran. Hal ini menciptakan kesan bahwa penegakan hukum hanya menyentuh permukaan (gejala) dan bukan akar masalahnya.
Secara hukum materiil, pembuktian terhadap keterlibatan seseorang dalam jaringan judi online memiliki standar tinggi. Seringkali, individu yang ditangkap di lapangan hanyalah operator tingkat rendah atau “admin” yang tidak mengetahui identitas bandar besar di atas mereka.
Struktur organisasi judi online yang berbentuk sel terputus menyulitkan penyidik untuk menarik benang merah hingga ke level pimpinan tertinggi. Akibatnya, hukuman yang dijatuhkan sering kali hanya menyasar pelaku kelas teri, sementara infrastruktur keuangan dan operasional besar di belakangnya tetap utuh dan mampu merekrut personel baru dengan cepat.
Penegakan hukum yang efektif membutuhkan harmonisasi antara regulasi siber, perbankan, dan telekomunikasi. Saat ini, masih terdapat celah koordinasi dalam hal pengawasan rekening bank yang diduga digunakan untuk menampung dana judi. Proses pembekuan rekening seringkali membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memindahkan dana ke luar negeri terlebih dahulu.